Di hari pertama dalam setiap tahun, yang jatuh tepat seminggu setelah perayaan Natal, Gereja memperingati Hari Raya Santa Maria Bunda Allah. Begitu pas urutan ini, sebab Gereja mengajarkan bahwa setelah Kristus, Bunda Maria menempati urutan yang tertinggi dan terdekat dengan Allah karena perannya sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan Tuhan Yesus Kristus. Maka setelah kita bersyukur kepada Allah atas kelahiran Putra-Nya Yesus Kristus ke dunia, kita pun bersyukur kepadaNya atas rencana keselamatan-Nya yang melibatkan Bunda Maria, Ibu-Nya. Bunda Maria telah dikuduskan Allah, karena tugasnya menjadi ibu bagi Putra-Nya Yesus Kristus. Perannya sebagai Bunda Allah itulah yang menjadikan Bunda Maria seorang yang istimewa dalam sejarah umat manusia. Hal ini tersirat dalam perkataan Bunda Maria sendiri dalam Kidung Magnificat, “Segala keturunan akan menyebutku berbahagia….” Dan betapa nubuat ini tergenapi, salah satunya dalam perayaan pada hari ini. Seluruh Gereja merayakan peran Santa Perawan Maria sebagai Bunda Allah.
Gereja menyadari bahwa rencana keselamatan Allah bagi manusia dapat terwujud karena kerjasama Bunda Maria. Kristus tidak langsung datang dari langit, tetapi mengambil rupa manusia, menjadi seorang bayi dalam rahim yang murni, dari Perawan Maria. Memang sebagai Allah, Kristus telah ada sejak kekekalan bersama Allah Bapa; tetapi “setelah genap waktunya” (Gal 4:4), Ia diutus Allah Bapa untuk masuk ke dalam sejarah umat manusia, lahir dari seorang perempuan, dan perempuan ini adalah Maria. Maka sesungguhnya, sebutan “Bunda Allah” ini adalah konsekuensi dari iman kita. Karena kita percaya bahwa Yesus adalah Allah, maka ibu yang melahirkanNya kita sebut sebagai Bunda Allah. Bukankah Elisabet yang dipenuhi Roh Kudus juga mengenali Maria sebagai “Bunda Tuhan” (Luk 1:43)? Semoga Roh Kudus yang sama yang menerangi St. Elisabet dan St. Lukas yang menuliskannya di dalam Injil, juga menerangi pikiran dan hati kita, supaya kitapun tidak ragu memanggil Bunda Maria sebagai Bunda Allah.
Maka, jika kita memanggil Bunda Maria sebagai Bunda Allah, itu bukan semata penghormatan kepadanya, tetapi juga penghormatan dan syukur kepada Allah yang telah menciptakan dan memilihnya. Mari kita jangan sampai lupa, bahwa kedatangan Kristus ke dunia didahului oleh ketaatan Sang Perawan Maria. Jika kita sampai dapat menerima Kristus, bukankah kita pun patut menerima ibu yang melahirkan dan membesarkan-Nya? Jika kita dapat menerima rahmat keselamatan dari Allah, bukankah selain kita bersyukur kepada Allah kita pun perlu berterima kasih kepada Bunda Maria yang membawa Sang Sumber Rahmat itu kepada kita? Sebab dalam karya pengorbanan dan kasih Kristus, terjalin pula pengorbanan dan kasih Bunda Maria yang menghantarkan-Nya. Semoga mata rohani kita dapat melihat bahwa rahmat keselamatan Allah mengalir kepada kita lewat Bunda Maria sebagai salurannya! Maka dalam hal ini patutlah kita pun memanggil Bunda Maria sebagai ibu. Sebagaimana kita memanggil ibu kepada ia yang melahirkan kita secara jasmani; demikianlah, kitapun memanggil ibu kepada Bunda Maria, yang melahirkan kita secara rohani. Bunda Maria adalah ibu rohani bagi kita, sebab ia telah melahirkan Kristus Sang Hidup, yang di dalamNya kita dapat beroleh hidup ilahi: hidup yang kekal. Gereja mengajarkan, “Ditentukan sejak kekekalan—oleh keputusan penyelenggaraan ilahi yang menetapkan inkarnasi Sang Sabda—untuk menjadi Bunda Allah, Perawan yang Terberkati adalah di dunia ini Bunda Perawan dari Sang Penebus, dan di atas segalanya dan dengan cara yang satu-satunya, adalah sang pendamping yang murah hati dan hamba Tuhan yang rendah hati. Ia mengandung, melahirkan dan membesarkan Kristus. Ia mempersembahkan-Nya kepada Bapa di kenisah, dan ikut menderita bersama Puteranya yang wafat di kayu salib. Dengan cara yang satu-satunya ini, ia bekerjasama dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar di dalam karya Sang Juru Selamat untuk mengembalikan hidup adikodrati bagi jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia menjadi Bunda kita.” (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, 61)
Sebagai ibu yang melahirka n Yesus, Bunda Maria mendampingi Yesus di saat awal kehidupan-Nya. Bunda Maria juga ada bersama Yesus saat Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama (bahkan mukjizat itu dilakukan atas permohonannya), dan selalu menyertai Yesus sampai wafat-Nya di kayu salib. Setelah diberikan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya (lih. Yoh 19:26-27), Bunda Maria senantiasa mendampingi mereka. Ia turut berdoa memohonkan pencurahan Roh Kudus atas para murid itu sebagai Gereja, sampai kepada hari Pentakosta. Bunda Maria hadir di saat-saat penting dalam hidup Tuhan Yesus dan Gereja. Bagaimana dengan kita? Adakah kita mengikutsertakan Bunda Maria—ibu rohani kita—dalam saat-saat penting dalam kehidupan kita? Bagaikan anak yang datang meminta doa restu ibu sebelum memulai suatu perjalanan ataupun menempuh ujian, marilah kita datang memohon doa restu Bunda Maria, sebelum memulai Tahun Baru ini. Bunda Maria yang selalu setia mendampingi Tuhan Yesus sampai akhir hidup-Nya di dunia, juga akan selalu setia mendampingi kita. Mari kita mengikuti teladan Bunda Maria, untuk menyerahkan seluruh hidup kita ke dalam pimpinan tangan Tuhan, dan “menyimpan segala perkara di dalam hati dan merenungkannya” (Luk 2:19), sebab di dalam perkara hidup kita ada rencana Allah yang indah yang dapat mengarahkan kita kepada keselamatan kekal.
“Ya, Bunda Maria yang penuh kasih, di awal tahun yang baru ini, kami serahkan kepadamu diri kami dan segenap keluarga kami. Sudilah engkau menyertai dan melindungi kami sekeluarga dengan doa-doamu. Semoga kami menjadi anak-anak yang taat, berhati tulus dan murni, serta saling mengasihi dengan segenap hati. Semoga kami Kau bawa setiap hari menjadi semakin dekat kepada Yesus Kristus Putramu, Tuhan dan dan Juruselamat kami. Amin.”
WWW.KATOLISITAS.ORG
Memulai Tahun Baru bersama Sang Ibu
Reviewed by
on
December 31, 2016
Rating:
No comments: